Hitstat

13 October 2015

Ibrani - Minggu 21 Selasa



Pembacaan Alkitab: Ibr. 8:6


Janji Allah adalah firman atau perkataan yang diucapkan Allah. Ketika Allah berbicara dan dalam perkataan‑Nya Ia berjanji akan memberi, melakukan, atau menjadi sesuatu bagi kita, itu barulah janji. Perkataan janji Allah itu dijamin dengan kesetiaan-Nya (Ibr. 10:23; 11:11). Kesetiaan Allah merupakan garansi atas apa yang Ia katakan sebagai janji.

Perjanjian Allah ditetapkan berdasarkan janji Allah (8:6). Dalam Alkitab, setelah Allah membuat janji, Ia memeteraikannya dengan sumpah. Ia bersumpah demi ke‑Allahan‑Nya, agar janji‑Nya dikukuhkan. Bila janji itu telah dikukuhkan dengan suatu sumpah, maka segera menjadi perjanjian, perjanjian yang dimeteraikan Allah. Ibrani 6:16 mengatakan bahwa sumpah itu suatu pengukuhan yang mengakhiri segala perbantahan. Bila janji‑janji itu dikukuhkan dengan sumpah Allah, janji itu tidak dapat diubah, tidak mungkin pula disesalkan atau diganti.

Setelah Allah membuat janji‑janji dalam Perjanjian Lama, mengukuhkan‑Nya dengan sumpah‑Nya (Kej. 22:16-18; Mzm. 110:4), Tuhan Yesus datang dan menggenapkan semua janji Allah itu. Dengan pekerjaan Tuhan di bumi ini, setiap hal dalam janji Allah telah menjadi fakta yang sudah genap. Sebagai contoh, dalam Yeremia 31 Allah berjanji akan mengampuni dosa‑dosa kita. Tuhan Yesus telah melaksanakan hal ini, yakni melalui menjadi kurban penebusan bagi dosa‑dosa kita di atas salib, sehingga tergenaplah janji Allah itu. Sebelum Tuhan Yesus mati di atas salib, hal ini hanya merupakan suatu janji; namun, setelah Tuhan mati di atas salib, janji ini telah menjadi satu fakta yang genap. Karena itu, pengampunan dosa‑dosa tidak lagi berupa janji, melainkan berupa fakta sejarah yang telah genap. Oleh kematian dan darah yang ditumpahkan‑Nya, perjanjian yang dijanjikan Allah telah ditetapkan menjadi perjanjian baru (Ibr. 9:18‑23; Mat. 26:28; Luk. 22:20). Melalui kematian‑Nya itu, maka semua janji telah menjadi fakta yang telah genap.

Setelah kematian dan kebangkitan‑Nya, Tuhan naik ke surga, dan meninggalkan perjanjian yang digenapkan dengan kematian‑Nya kepada kita. Ketika Ia meninggalkan perjanjian itu kepada kita, perjanjian itu segera menjadi suatu wasiat, yaitu wasiat baru yang diwariskan kepada kita (9:16‑17). Dalam wasiat ini, fakta‑takta yang telah genap tidak lagi menjadi sekadar fakta, tetapi semuanya telah menjadi warisan. Melalui kematian dan kebangkitan Tuhan, semua janji telah digenapi dan menjadi fakta yang telah genap. Setelah Tuhan meninggalkan perjanjian yang baru ini kepada kita, perjanjian ini segera menjadi suatu wasiat, suatu surat wasiat, yang berisi semua fakta yang telah genap sebagai warisan kita. Karena segalanya telah digenapkan‑Nya, Ia lalu naik ke takhta di surga, di sana Ia duduk dengan penuh perhentian. Sebagai Imam Besar kita yang di surga, Tuhan adalah Penjamin perjanjian yang baru yang lebih mulia itu (7:21‑22).

Untuk menetapkan wasiat baru diperlukan empat langkah : pertama, firman Allah; kedua, janji Allah; ketiga, perjanjian yang baru; dan keempat, wasiat baru. Kita tidak lagi hanya memiliki firman Allah, janji Allah, dan perjanjian yang baru, kita pun memiliki surat wasiat baru. Alkitab adalah surat wasiat, yang telah dikatakan, dijanjikan, dan digenapkan, bahkan juga telah diwariskan. Tidak hanya demikian, dalam kebangkitan‑Nya, Tuhan telah melaksanakan apa yang telah Ia wariskan itu. Kita cukup berterima kasih atas segala warisan‑Nya. Bila kita ingin menerima warisan‑Nya, bukalah diri kita sepenuhnya kepada‑Nya, agar Ia dapat melaksanakan apa yang hendak dilaksanakan, yakni menghasilkan reproduksi massal dari model standar Putra sulung, untuk menjadi ekspresi korporat Allah. Inilah visi surgawi yang perlu kita nampak.


Sumber: Pelajaran-Hayat Ibrani, Buku 3, Berita 41

No comments: