Hitstat

31 March 2014

Kolose - Minggu 1 Senin



Pembacaan Alkitab: Kol. 2:8, 16, 18


Ada tiga ayat yang semuanya merupakan peringatan yang memungkinkan kita mengetahui situasi yang menyebabkan Surat Kolose ini ditulis — Kolose 2:8, 16, dan 18. Kolose 2:8 mengatakan, “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafat dan penipuan yang kosong, menurut tradisi dan unsur-unsur dunia, tetapi tidak menurut Kristus.” Ayat ini menyebut empat hal negatif yang dapat menyebabkan kita tertawan: filsafat, penipuan yang kosong (yang kosong dan palsu, LAI), tradisi (ajaran turun-temurun, LAI), dan unsur-unsur (roh-roh, LAI) dunia. Dalam pandangan umat manusia yang telah jatuh, filsafat itu sangat baik, sebab filsafat merupakan hasil perkembangan kebudayaan yang paling tinggi. Unsur-unsur dunia, asas-asas dasar dari ajaran-ajaran tertentu, mungkin juga dianggap tinggi oleh masyarakat. Namun filsafat, penipuan yang kosong, tradisi, dan unsur-unsur dunia dapat menyebabkan kita tertawan.

Dalam 2:16 Paulus berkata, “Karena itu, jangan biarkan orang menghakimi kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat.” Di sini Paulus menyebutkan sejumlah hal yang positif: makanan, minuman, hari raya, bulan baru, dan hari Sabat. Dia memperingatkan orang-orang Kolose agar jangan membiarkan siapa pun menghukum mereka mengenai halhal ini.

Dalam ayat 18 Paulus mengatakan selanjutnya, “Janganlah kamu biarkan kemenanganmu (pahalamu) digagalkan oleh orang yang pura-pura merendahkan diri dan beribadah kepada malaikat, serta mengagung-agungkan penglihatanpenglihatan dan tanpa alasan membesar-besarkan diri oleh pikirannya yang duniawi.” Pahala yang dikatakan di sini adalah Kristus sebagai kenikmatan kita. Memang mungkin pahala ini digagalkan oleh suatu budi pekerti manusia yang positif — kerendahan hati (pura-pura merendahkan diri).

Alasan Paulus memberikan peringatan-peringatan ini ialah karena gereja di Kolose telah diresapi dengan ajaran pertapaan. Ajaran pertapaan ini berkaitan dengan legalitas peraturan-peraturan (2:20-21) dan tata cara agama Yahudi (2:16). Selain itu, ajaran mistik (kebatinan) telah menyerbu gereja di Kolose. Ajaran mistik ini berkaitan dengan ajaran Gnostik, yang tersusun dari filsafat-filsafat orang Mesir, Babilon, Yahudi, dan Yunani (2:8) dan pemujaan (ibadah) terhadap malaikat-malaikat (2:18).

Butir utama tentang latar belakang Kitab Kolose ialah telah dimasukkannya kebudayaan ke dalam hidup gereja (church life). Orang-orang Kolose merupakan campuran dari orang kafir dan orang Yahudi. Orang kafir memiliki kebudayaan yang berbeda dengan orang Yahudi; orang kafir sebagian besar dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani serta filsafatnya. Tetapi, pada waktu itu, filsafat Yunani tidak lagi murni, melainkan merupakan perbauran dari berbagai macam filsafat. Lagi pula, kebudayaan kafir setidak-tidaknya telah tercampur dengan konsepsi-konsepsi agama orang Yahudi.

Dengan licik musuh membanjiri gereja dengan unsur-unsur kebudayaan. Inilah yang ia lakukan ketika Kitab Kolose ditulis. Memasukkan suatu campuran agama Yahudi dengan filsafat kafir ke dalam gereja dan memenuhi gereja dengan campuran kebudayaan adalah siasat musuh. Menurut pandangan manusia, kebudayaan ini, khususnya ajaran pertapaannya, sangat baik. Ajaran pertapaan mempunyai satu tujuan dan sasaran yang baik, yakni mencoba memberdayakan orang menanggulangi hawa nafsu mereka. Tetapi kita harus nampak bahwa siasat Iblis dalam membanjiri gereja dengan kebudayaan ialah memakai aspek-aspek kebudayaan yang dikembangkan sangat tinggi ini untuk menggantikan Kristus.


Sumber: Pelajaran-Hayat Kolose, Buku 1, Berita 1

29 March 2014

Filipi - Minggu 31 Sabtu



Pembacaan Alkitab: 2 Kor. 4:16-17


Jika kita ingin dibebaskan dari kekhawatiran, kita perlu mengerti dan mempraktekkan keenam butir yang telah kita bahas dalam berita terdahulu dan berita ini. Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa sebagaimana kekhawatiran merupakan keseluruhan kehidupan manusia, maka kebaikan hati adalah totalitas kehidupan kristiani. Kedua, kita perlu nampak bahwa sumber kebaikan hati adalah Allah dan sumber kekhawatiran adalah Iblis.

Hal ketiga ialah paham bahwa kebaikan hati dan kekhawatiran tidak dapat hidup berdampingan. Alasannya ialah karena kebaikan hati sebenarnya adalah satu persona, yakni Kristus itu sendiri. Bila Kristus diperhidupkan dari diri kita, barulah kita memiliki kebaikan hati. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa Paulus berulang-ulang membicarakan tentang Kristus dalam Filipi 1, 2, dan 3. Ia menekankan memperbesar Kristus, menerima Kristus sebagai teladan, dan menuntut Kristus sebagai sasaran. Tetapi, dalam Filipi 4 ia menggunakan istilah kebaikan hati dan menyuruh kita agar kebaikan hati kita diketahui semua orang. Sebenarnya, kebaikan hati ini adalah Kristus yang diwahyukan dalam pasal-pasal sebelumnya. Karena itu, kebaikan hati kita diketahui semua orang berarti memperhidupkan Kristus. Kita telah nampak bahwa Allah mungkin mengatur dan menetapkan penderitaan tertentu untuk kita. Tetapi walaupun penderitaan itu pengaturan dan penetapan Allah, datangnya bukan dari Allah, melainkan dari Iblis. Pengalaman Ayub maupun Paulus membuktikan hal ini. Musibah yang Allah atur dan tetapkan untuk kita sebenarnya datang dari Iblis. Iblislah utusan yang mendatangkan semuanya itu kepada kita. Allah mengatur dan menetapkan suatu duri untuk Paulus dan Ia mengizinkan Iblis untuk membawa duri itu kepada Paulus. Setelah mengirimkan kesulitan atau kesusahan tertentu kepada kita, Iblis segera datang untuk menimbulkan kekhawatiran. Kekhawatiran bukan pemberian Allah dan bukan datang dari Allah. Sebaliknya, kekhawatiran selalu ditimbulkan oleh Iblis untuk menggagalkan kehendak Allah. Jika kita benar-benar mengerti hal ini, kita akan nampak perlunya Kristus sebagai kebaikan hati kita. Jika kita memiliki kebaikan hati ini, kita tidak akan khawatir. Tetapi jika kita merasa khawatir, kita tidak akan memiliki kebaikan hati.

Hal keempat yang perlu kita pahami dan praktekkan ialah menempuh satu kehidupan yang penuh kebaikan hati namun tanpa kekhawatiran, kita perlu bersatu dengan Tuhan secara riil. Ditinjau dari segi pengalaman, bersatu dengan Tuhan berarti berada di dalam Dia.

Kelima, kita perlu berdoa. Ini berarti kita perlu memiliki suatu waktu untuk bersekutu dengan Tuhan dan menyembah Dia. Doa tidak semata-mata berarti memohon sesuatu kepada Tuhan. Doa merangkum bercakap-cakap dengan Tuhan, berkomunikasi dengan Dia dalam persekutuan, dan menyembah Dia. Ketika kita menggunakan waktu untuk berkontak dengan Tuhan sedemikian, kita perlu menyatakan permohonan kita dengan ucapan syukur.

Keenam, setelah berdoa, bersekutu dengan Tuhan, menyembah Dia, dan menyatakan permohonan kita kepadaNya, kita akan mengetahui apakah kehendak Tuhan. Sebagai contoh, jika kita sakit, kita akan tahu apakah Tuhan ingin menyembuhkan kita atau membiarkan penyakit itu tetap tinggal. Begitu kita mengetahui kehendak Allah, kita harus menerimanya, mengalami anugerah-Nya yang cukup, bersandar kepada-Nya, dan bersyukur kepada-Nya. Maka kita akan memiliki satu kehidupan yang penuh kebaikan hati namun tanpa kekhawatiran.


Sumber: Pelajaran-Hayat Filipi, Buku 3, Berita 62

28 March 2014

Filipi - Minggu 31 Jumat



Pembacaan Alkitab: 2 Kor. 12:8-9; Flp. 4:6-7


Dalam 4:6-7 Paulus berkata, “Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” Paulus pasti menyusun ayat-ayat ini dengan pemikiran yang sangat matang. Dalam ayat 6 ia menyinggung doa, permohonan, dan ucapan syukur. Doa bersifat umum dan beresenskan penyembahan dan persekutuan; permohonan bersifat khusus dan ditujukan kepada keperluan tertentu. Menurut pengalaman orang Kristen, berdoa berarti bersekutu, bergaul dengan Tuhan, dan menyembah Dia. Setiap hari kita perlu mempunyai satu waktu untuk berkontak dengan Tuhan, bersekutu dengan-Nya, dan menyembah Dia. Selama waktu persekutuan kita, kita mungkin mengajukan permohonan tertentu. Jadi, kita tidak hanya berdoa secara umum, tetapi juga memohon kepada Tuhan secara khusus. Kita mengajukan permohonan kepada Dia yang dengan-Nya kita bersekutu. Karena itu, permohonan merupakan suatu permintaan khusus yang kita ajukan selama waktu doa kita.

Marilah kita semua belajar berdoa dan memohon dengan mengucap syukur. Jika kita penuh syukur kepada Tuhan, hal ini akan melindungi kita dari kekhawatiran. Tetapi jika kita berdoa kepada Tuhan dengan rasa cemas, kekhawatiran kita akan bertambah-tambah. Berdoa untuk situasi kita mungkin akan membuat kekhawatiran kita menjadi-jadi. Namun bila kita berdoa dan memohon dengan mengucap syukur, kekhawatiran kita akan lenyap.

Kita telah nampak bahwa untuk mengatasi kekhawatiran kita perlu berdoa dan bersekutu serta menyembah Dia. Kemudian, kita perlu menyatakan permohonan kita dengan mengucap syukur. Ketika berbuat demikian, kita mungkin mengira Tuhan akan selalu mengabulkan apa yang kita minta. Tetapi, adakalanya Tuhan akan berkata tidak. Lihatlah pengalaman Paulus atas duri dalam dagingnya. Dalam 2 Korintus 12:8 ia berkata, “Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari hadapanku.” Tetapi Tuhan menolak permohonan Paulus dan berkata kepadanya, “Cukuplah anugerah-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (ayat 9). Karena itu, Paulus dapat menyatakan, “Sebab itu, aku terlebih suka bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.” Butir yang terpenting di sini ialah Paulus menerima kehendak Allah. Ia menyadari bahwa kehendak Allah ialah membiarkan duri itu tinggal dalam dirinya, agar ia dapat mengalami anugerah-Nya yang cukup. Karena Paulus menerima kehendak Tuhan, maka ia tidak khawatir tentang apa pun.

Memang benar, kita perlu berdoa dan memohon kepada Tuhan dengan mengucap syukur. Tetapi bila Tuhan tidak mengabulkan permohonan kita, kekhawatiran kita mungkin bertambah, bukan berkurang. Pada saat demikian, kita menyadari bahwa Tuhan tidak akan mengubah situasi kita, sebaliknya, Ia membiarkan “duri” itu tinggal. Ia tahu kita memerlukan duri itu. Ia pun memerlukannya supaya Ia dapat menyatakan anugerah-Nya yang cukup dan sebagai tambahan melatih kita untuk bersandar kepada-Nya. Jika kita tidak menerima kehendak Tuhan dan bersikeras untuk mengajukan permohonan menurut kehendak kita sendiri, kita tidak akan dapat terlepas dari kekhawatiran.


Sumber: Pelajaran-Hayat Filipi, Buku 3, Berita 62