Hitstat

19 October 2006

Kejadian Volume 7 - Minggu 3 Kamis

Kematian Sara
Kejadian 23:1-2
“Sara hidup seratus dua puluh tujuh tahun lamanya; itulah umur Sara. Kemudian matilah Sara di Kiryat-Arba, yaitu Hebron, di tanah Kanaan, lalu Abraham datang meratapi dan menangisinya.”

Sara meninggal pada usia 127 tahun (Kej. 23:1-2). Pada waktu itu Abraham dan Sara merupakan contoh pasangan suami istri yang terbaik di alam semesta ini. Mereka benar-benar saling mengasihi satu terhadap yang lain, tidak pernah mempertimbangkan untuk bercerai atau berpisah. Ketika istri Abraham meninggal dunia, ini merupakan suatu kehilangan yang besar bagi Abraham maupun Ishak. Ishak merupakan putra kesayangan ibunya, maka tidak dapat diragukan lagi kalau ibunya amat mengasihinya. Pada umur 37 tahun, ia masih belum menikah dan tinggal bersama ibunya (Kej. 17:1, 17; 21:5). Ketika ia menikah pada usia 40 tahun (Kej. 25:20), Alkitab memberi tahu bahwa Ishak menikah di dalam kemah ibunya (Kej. 24:67). Sekonyong-konyong, kasih antara Abraham dengan Sara dan antara Sara dengan Ishak terputus, oleh karena Sara yang menjadi istri dan ibu, direnggut oleh kematian. Bagi Abraham, Ini adalah penderitaan.
Bila kita membaca kisah Abraham, kita akan melihat bahwa Allah telah mengambil banyak hal dari padanya. Setiap kali Allah mengambil sesuatu darinya, ia menderita. Kita, sebagai orang yang dipanggil Allah, tidaklah sewajarnya mengharapkan hidup yang serba nyaman di bumi ini. Kita harus mengikuti jejak Abraham, karena mengharapkan negeri yang lebih baik, kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah, ia rela menderita (Ibr. 11:10, 16). Hidup kita adalah hidup seorang musafir. Karena itu, segala seuatu yang kita miliki di bumi, tidaklah kekal. Tetapi kita tahu, apa pun yang Tuhan ambil dari diri kita, akan digantikan-Nya kelak dengan sesuatu yang lebih berharga.

Kematian Sara adalah Ujian bagi Abraham
Kej. 23:2

Abraham tidak hanya adalah seorang yang dipanggil oleh Allah, tetapi ia juga mengalami banyak ujian. Banyak hal yang ia miliki justru diambil dari padanya oleh Allah. Lot dipisahkan daripadanya, Eliezer ditolak, Ismael dibuang, dan Ishak dipersembahkan kepada Allah di atas mezbah. Kemudian istrinya yang tercinta meninggal dunia. Alangkah beratnya ujian dan penderitaan yang harus ditempuh Abraham! Menurut konsepsi alamiah kita, Abraham, orang yang demikian baik terhadap Allah, tidak seharusnya mengalami penderitaan seperti ini. Dalam Kejadian pasal 22 Ishak dipersembahkan kepada Allah dan kembali kepada Abraham di dalam kebangkitan. Di tengah Abraham menikmati hidup bahagia dengan Sara istrinya, dan Ishak putranya, tiba-tiba Sara, faktor kebahagiaanya, diambil. Kebahagiaan dalam keluarga ini tergantung pada Sara, sang istri dan sang ibu. Oleh kematian Sara, suasana hidup dan kebahagiaan keluarga ini, semuanya pasti berubah. Kejadian 23:2 mengatakan, “…lalu Abraham datang meratapi dan menangisinya.” Ketika kita membaca pasal ini, mungkin kita tidak pernah merasakan betapa Abraham menderita. Tetapi perhatikan dua kata dalam ayat dua di atas: “meratapi” dan “menangisi”. Abraham meratapi dan menangisi Sara karena ia telah kehilangan kebahagiaanya dan kehidupan keluarga yang lengkap. Dalam bahasa Ibrani kata-kata “meratapi” dan “menangisi” menyatakan lebih susah daripada tangisan yang biasa. Abraham menderita akibat kehilangan istrinya pada masa tuanya; ia merasa amat terluka.
Di satu pihak, kehidupan orang Kristen adalah kehidupan yang penuh kenikmatan. Tetapi kita semua juga setuju bahwa di pihak lain, kehidupan orang Kristen adalah kehidupan yang penuh penderitaan. Tidakkah kita mengalami penderitaan di dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen? Adakah orang Kristen yang dapat mengatakan bahwa dia tidak pernah mengalami penderitaan? Kadang-kadang kita bersaksi bahwa kita orang Kristen memiliki kehidupan pernikahan yang baik dan kehidupan keluarga yang bahagia. Ada saatnya suami, istri, dan anak-anak dengan gembira memuji Tuhan. Ya, ini benar, dan ini adalah sebagian dari kesaksian kita. Tetapi kita juga harus mengakui bahwa kadang-kadang kehidupan keluarga kita tidak selamanya demikian. Masalah keuangan, pekerjaan, atau anak-anak yang nakal, juga merupakan suatu penderitaan. Penderitaan semacam ini merupakan ujian bagi kita, apakah kita masih bersandar kepada Bapa sebagai Sang sumber atau tidak. Abraham mengalami penderitaan sekaligus ujian yang demikian agar Abraham mengalami Bapa sebagai sumber kebahagiaannya yang sejati.

Penerapan:
Berharga atau tidaknya sebuah penderitaan, sangat tergantung pada seberapa banyak kita membiarkan Tuhan mengerjakan sesuatu di dalam kita. Bila kita menderita karena Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka penderitaan itu berharga. Tetapi kita tidak boleh mencari-cari penderitaan. Asalkan kita betul-betul mengikuti Tuhan dengan setia, dengan sendirinya kita akan mengalami penderitaan. Inilah ciri-ciri kehidupan seorang musafir.

Pokok Doa:
Tuhan Yesus, buatlah aku mengenal bahwa Engkau tidak pernah salah dalam hal mengatur setiap situasi di sekelilingku. Tuhan, apa pun boleh Kau ambil dari padaku, tetapi janganlah tarik penyertaan-Mu dari padaku, karena penyertaan-Mu adalah penghiburanku yang sejati.

No comments: