Pembacaan Alkitab: Ef. 1:4;
5:26-27
Kini kita meninjau masalah
pengudusan watak (sifat) kita, yang terjadi sesudah pembenaran (Rm. 6:19, 22).
Ini adalah pengudusan yang bukan hanya pada kedudukan kita, tetapi juga di
dalam watak kita. Maka, hal ini lebih dalam dan lebih subyektif daripada pengudusan
kedudukan. Dalam pengudusan yang subyektif ini, kita dijenuhi Allah dalam watak
kita. Pemisahan dapat terjadi lebih mudah dan memakan waktu yang sangat
singkat, namun untuk dijenuhi dalam watak memakan waktu panjang. Jika kita
setia kepada Tuhan, barulah kita akan dijenuhi dengan sifat Allah dari hari ke
hari. Allah memang ingin menjenuhi kita dengan diri-Nya sendiri, dan kita wajib
menyesap Allah ke dalam diri kita. Hal ini memerlukan waktu. Inilah proses
pengudusan kita.
Allah telah memilih kita dengan
tujuan menjenuhi kita dengan diri-Nya sendiri; Ia ingin menggarapkan diri-Nya
ke dalam diri kita. Kemudian kita akan menjadi kudus, sekudus Ia sendiri.
Dewasa ini, kita semua berada dalam proses penjenuhan. Saya telah berada dalam
proses ini lebih dari 50 tahun, dan saya masih berada di dalamnya, yakni masih
“menyesap” Allah dari hari ke hari. Banyak orang di antara kita yang dahulunya
berada dalam kekristenan dapat bersaksi, ketika kita berada di sana, kita tidak
mengalami banyak penjenuhan yang sedemikian. Akan tetapi sejak kita memasuki
hidup gereja, kita mengalami sangat banyak penjenuhan Allah ini. Hidup gereja
adalah hidup yang menyesap Allah.
Kita semua telah dipilih menjadi
kudus dengan cara demikian. Pertama, kita dipisahkan kepada Allah; kedua, kita
dijenuhi Allah; akhirnya kita menjadi satu dengan-Nya. Pada suatu hari, kita
akan serupa dengan-Nya. Hal itu akan menjadi tanda kegenapan pengudusan kita,
proses yang diawali pemisahan, dilanjutkan dengan penjenuhan, dan tergenap
dengan penebusan sepenuhnya atas tubuh kita. Pada saat itu, kita akan menjadi benar-benar
serupa dengan Dia lahir dan batin. Kita akan menjadi kudus. Dengan tujuan
inilah kita dipilih oleh Allah sebelum dunia dijadikan.
Ayat 4 juga mengatakan bahwa kita
dipilih di dalam Dia supaya kita tak bercacat. Suatu cacat adalah seperti
sebutir benda asing dalam permata yang mahal. Kaum pilihan Allah seharusnya hanya
dijenuhi dengan diri Allah, tanpa benda-benda asing, seperti unsur manusia
alamiah yang telah jatuh, daging, diri, atau perkara-perkara duniawi. Inilah
“tanpa cacat”, tanpa campuran apa pun, tanpa unsur lain, selain sifat kudus
Allah. Setelah terbasuh seluruhnya dengan air dalam firman, gereja akan
dikuduskan dengan cara demikian (Ef. 5:26-27).
Kita akan menjadi kudus tanpa bercacat
di hadapan-Nya. “Di hadapan-Nya” menandakan bahwa kita kudus dan tak bercacat
dalam pandangan Allah sesuai dengan standar Allah. Keadaan ini melayakkan kita
untuk tetap di dalam hadirat-Nya dan menikmati penyertaan-Nya. Kita menjadi
kudus dan tak bercacat bukan menurut standar atau pandangan kita sendiri,
melainkan menurut standar-Nya dan pandangan-Nya.
Terakhir, kita akan menjadi kudus
tak bercacat di hadapan-Nya, di dalam kasih. Kasih di sini mengacu kepada kasih
Allah, dengan kasih ini Allah mengasihi umat pilihan-Nya, dan dengan kasih ini
juga umat pilihan-Nya mengasihi Dia. Di dalam dan dengan kasih ini umat pilihan
Allah menjadi kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Mula-mula Allah mengasihi
kita, kemudian kasih Allah ini membangkitkan kita untuk mengasihi-Nya kembali.
Dalam keadaan dan suasana kasih ini, kita dijenuhi Allah agar menjadi kudus dan
tanpa cacat seperti apa adanya Dia. Dalam kasih ini, yaitu kasih yang timbal
balik, Allah mengasihi kita, dan kita membalasnya dengan kasih pula. Dalam
kondisi semacam inilah kita diubah. Di bawah kondisi seperti inilah, kita
dijenuhi oleh Allah.
No comments:
Post a Comment