Hitstat

31 July 2008

Markus Volume 6 - Minggu 4 Kamis

Mengapa Engkau Meninggalkan Aku?
Markus 15:34
Pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eloi, Eloi, lema sabakhtani?”, yang berarti: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?

Ayat Bacaan: Mat. 1:20; Mrk. 15:34; 1 Ptr. 2:24; 2 Kor. 5:21; 1 Ptr. 3:18

Ketika Tuhan Yesus dikandung, Dia dikandung oleh Roh Kudus di dalam seorang perawan (Mat. 1:20). Keterkandungan-Nya adalah ilahi, karena hal itu berasal dari Roh Kudus, berasal dari Allah. Keterkandungan-Nya yang ajaib adalah keterkandungan Allah dalam manusia. Keterkandungan ini mencakup keinsanian maupun keilahian.
Tidak seperti Tuhan Yesus, kita semua dikandung dari ayah dan ibu kita. Apa yang tercakup dalam keterkandungan kita hanyalah sifat insani. Tetapi keterkandungan Tuhan Yesus adalah keterkandungan Allah dalam perawan manusia, keterkandungan yang mencakup baik keinsanian dan keilahian. Karena itu, Tuhan Yesus dilahirkan sebagai seorang manusia dengan dua sifat: sifat insani dan sifat ilahi. Hal ini memberikan kita dasar untuk berkata bahwa Dia adalah manusia-Allah. Dia dilahirkan oleh Allah dalam manusia. Dari Allah Dia menerima unsur ilahi, dan dari Maria Dia menerima unsur insani. Kedua unsur ini — keilahian dan keinsanian — membentuk Yesus sebagai Manusia-Allah
Pada waktu Tuhan Yesus berseru, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku.” (Mrk. 15:34), pada saat itu Dia sedang menanggung dosa-dosa kita (1 Ptr. 2:24), Dia dibuat berdosa karena kita (2 Kor. 5:21) dan Dia mengambil tempat orang-orang dosa (1 Ptr. 3:18). Ini berarti saat itu Allah sedang menghakimi Dia sebagai pengganti kita karena dosa-dosa kita.
Bagi Tuhan Yesus, ditinggalkan oleh Allah merupakan perkara yang paling berat, karena selama hidup-Nya Dia selalu bersama-sama dengan Bapa, bahkan bersatu dengan Bapa (Yoh. 10:30). Namun demi untuk menyelamatkan umat manusia yang berdosa, Dia rela mengalami semuanya ini. Saudara-saudari, keadaan tanpa Allah adalah satu hal yang paling menderita, penuh kekosongan dan kehampaan. Namun, apakah kita memiliki perasaan yang demikian? Seringkali pengalaman hidup kita membuktikan bahwa kita bisa hidup tanpa Allah. Ketika kita ingin melakukan sesuatu, mengatakan sesuatu, apakah kita menjadi orang yang melakukannya bersama dengan Dia? Semoga Allah mencelikkan mata rohani kita, sehingga pada akhirnya kita bisa berkata,”Bukan lagi aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup...” (Gal. 2:20).

No comments: