Hitstat

31 May 2006

Kejadian Volume 2 - Minggu 3 Rabu

Makan: Hidup - Mati
Kejadian 2:17
“Tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”

Sebagai manusia, kita seringkali berada dalam dua ekstrim, yaitu kita mungkin tidak peduli terhadap pekerjaan Tuhan, atau kita termasuk golongan yang kedua, yaitu yang suka sibuk bekerja buat Tuhan. Memang yang pertama tentu sangat tidak baik, namun golongan yang kedua juga belum bisa dipastikan akan diperkenan Tuhan.
Hal ini disebabkan perintah Allah yang pertama kepada manusia menekankan makanan manusia bukan tindakan manusia. Makan adalah satu hal yang sangat penting bagi manusia, adalah masalah hidup dan mati.
Hasil dan tujuan yang dicapai oleh manusia di hadapan Allah bergantung sepenuhnya kepada apa yang dia makan. Jika manusia makan buah pohon hayat, dia akan menerima Allah sebagai hayat dan menggenapkan tujuan Allah. Jika manusia makan buah pohon pengetahuan, dia akan menerima Iblis sebagai maut dan dikuasai olehnya untuk tujuannya.
Perintah Allah dalam ayat 17 ini sangat serius dan menakutkan. Perintah ini tidak memberi toleransi sedikit pun terhadap kesalahan. Bila Adam salah makan, dia bukan diingatkan, bukan ditegor, atau sakit, melainkan mati!
Perintah Allah yang menakutkan di ayat ini, diberikan sebagai suatu peringatan bagi manusia menunjukkan bahwa:
1. Kebesaran Allah di dalam menciptakan manusia dengan
kehendak bebas, sehingga manusia dapat memilih
Allah dengan sukarela dan tidak berdasarkan paksaan.
2. Kasih Allah kepada manusia.
3. Kehendak hati Allah agar manusia makan buah pohon
hayat untuk menerima Allah ke dalamnya sebagai hayat.

Pengalaman Atas Pohon Hayat (1)
Kej. 12:1-4; Kis. 7:2-3; Ibr. 11:8; Rm. 8:14; Gal. 5:25

Sebagai contoh dari pengalaman atas pohon hayat, marilah kita melihat pengalaman Abraham. Ketika Allah memanggil Abraham untuk meninggalkan Ur-Kasdim, Ia tidak memberinya peta. Allah tidak mengatakan, “Abraham, inilah peta perjalanan yang harus kau tempuh. Aku ingin membawamu keluar dari Ur-Kasdim dan masuk ke negeri yang indah. Peta ini sangat jelas. Jika engkau mengikuti tiap belokan ini dengan teliti dan tepat, engkau akan tiba di tempat tujuanmu.” Allah hanya menyuruh Abraham meninggalkan negerinya, sanak keluarganya dan rumah ayahnya. Allah tidak mengatakan kepada Abraham ke mana ia harus pergi. Mengapa Allah memperlakukan Abraham demikian? Allah memimpinnya dengan cara ini, sebab sebelum Abraham dipanggil, umat manusia telah jatuh dan menjauhi Allah. Manusia telah meninggalkan hadirat Allah dan menempuh hidup yang mutlak menuruti pengetahuan, tidak menuruti Allah sebagai hayat. Maka Allah turun tangan memanggil Abraham keluar dari keadaan itu dan membawanya kembali kepada Allah sendiri. Allah tidak memberi Abraham peta atau petunjuk-petunjuk, sebab Ia bermaksud agar Abraham terus-menerus hidup dan bergerak di hadirat Allah. Penyertaan Allah adalah petanya. Penyertaan Allah adalah arah, pimpinan, dan penuntun jalannya. Jika Abraham bertanya kepada Allah, “Tuhan, katakan kepadaku ke mana aku harus pergi besok.” Maka Ia menjawab, “Anak-Ku, tidurlah baik-baik dengan tenteram. Janganlah khawatir. Besok Aku akan menjadi petunjukmu, menjadi peta hidupmu.”
Jika kita memiliki Allah yang hidup sebagai penuntun, kita tidak perlu lagi sebuah peta. Ia akan menjadi peta hidup dan penuntun jalan hidup kita. Inilah makna hidup bersandar. Namun dalam pengalaman perjalanan rohani kita, seringkali kita mencari-cari “peta” lebih daripada mencari penyertaan Tuhan. Mungkin kita beranggapan bahwa “peta” kita bisa lebih baik daripada penyertaan Tuhan. Mungkin pula kita mengira penyertaan Tuhan itu serba tidak menentu dan tidak terencana. Dugaan kita itu salah besar. Orang yang mengenal Tuhan pasti tahu bahwa penyertaan dan pimpinan Tuhanlah yang terbaik.
Pengetahuan tidak menuntut kita bersandar. Kita mungkin sudah meninggalkan penyertaan Tuhan, namun masih bekerja untuk-Nya. Bila kita memiliki pengetahuan, kita akan merasa tidak perlu bersandar lagi kepada Tuhan Yesus. Tuhan seolah-olah berada di langit ketiga dan kita terpencil jauh di bumi, tetapi kita tetap dapat bekerja bagi-Nya. Keadaan ini sungguh kasihan. Karena itu, marilah kita senantiasa menomorsatukan penyertaan Tuhan.

No comments: