Hitstat

17 August 2006

Kejadian Volume 5 - Minggu 2 Kamis

Memasang Kemah
Kejadian 12:8
“Kemudian ia pindah dari situ ke pegunungan di sebelah timur Betel. Ia memasang kemahnya dengan Betel di sebelah barat dan Ai di sebelah timur, lalu ia mendirikan di situ mezbah bagi TUHAN dan memanggil nama TUHAN.”

Setelah Abraham mendirikan mezbah, ia memasang kemah (Kej. 12:7-8). Baik mezbah maupun kemah merupakan suatu kesaksian bahwa Abraham adalah bagi Allah. Abraham pertama-tama menyembah Allah, bersekutu dengan Allah, setelah itu barulah ia memperhatikan kehidupannya. Kemah adalah tempat berteduh bagi kehidupan Abraham, tetapi ia tidak mendahulukan kehidupannya. Bagi Abraham, perkara yang paling penting ialah menyembah Allah, melayani Allah, bersekutu dengan Allah, dan mempersembahkan segala-galanya kepada Allah. Kemudian barulah Abraham memasang kemah bagi kehidupannya.
Abraham tinggal di kemah, menunjukkan ia bukan milik dunia, sebaliknya merupakan satu kesaksian kepada orang-orang dunia (Ibr. 11:9) bahwa ia milik Allah dan hidup bagi Allah. Kemah Abraham tidak menetap, tetapi dapat dipindah-pindah, tidak permanen. Sejak kita menjawab panggilan Allah, kita harus jelas bahwa hidup kita di dunia ini tidak menetap. Kita tidak seharusnya terikat atau menetap di dunia.
Alkitab menegaskan bahwa di dunia kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap; kita mencari kota yang akan datang, tanah air yang lebih baik, yaitu satu tanah air sorgawi (Ibr. 11:16; 13:14). Karena dunia bukanlah tujuan kita, hidup kita haruslah bagi Allah dan tujuan-Nya. Jangan kuatir akan apa yang akan kita makan atau yang akan kita pakai. Jangan kuatir akan hari esok atau masa depan kita. Kalau kita mendahulukan Allah, memperhatikan kehendak dan tujuan Allah, Dia pasti akan memelihara kehidupan kita (Luk. 12:29-31). Inilah makna dari hidup di dalam kemah.

Pengalaman Kemah
Ibr. 11:9

Jangan lupa, sejarah Abraham adalah sejarah kita. Apakah kita mempunyai kemah yang selalu memiliki penyertaan Allah? Orang-orang dunia tidak memiliki kemah semacam ini, mereka hanya mempunyai kota yang besar. Orang dunia hanya dapat melihat kota besarnya. Mereka berkata, “Lihatlah perseroanku. Pandanglah pendidikanku, hasil karyaku. Lihatlah betapa banyak benda yang kumiliki.” Tetapi kita jangan berkecil hati. Kita dapat berkata kepada orang- orang dunia, “Kalian memiliki segalanya, tetapi satu hal yang tidak kalian miliki — penyertaan Allah. Kalian tidak memiliki kemah — kalian hanya memiliki Kota Babel. Semua yang kalian miliki tidak lain sebagian dari Babilon besar.” Status sosial atau latar belakang pendidikan, itu tidak berarti banyak. Yang penting ialah kita mempunyai kemah dan penyertaan Allah.
Bila kita mempunyai kemah dan penyertaan Allah, kita pasti mempunyai perasaan yang sangat dalam di batin kita bahwa tidak ada satu pun yang abadi di bumi ini, segalanya sementara belaka. Kita memandang yang kekal itu. Uang, kesuksesan, nama besar — semuanya adalah sementara. Kita tidak mempunyai satu pun yang bersifat kekal di bumi ini. Kita senang memiliki kemah dan penyertaan Tuhan. Kita senang hidup dalam situasi demikian. Kita boleh berkata kepada orang-orang dunia, “Aku tidak memiliki sebanyak yang kalian punya, tetapi aku memiliki sesuatu yang tidak kalian miliki — yaitu penyertaan Allah. Aku tidak perlu menunggu alam kekal baru memiliki penyertaan Allah, aku memiliki penyertaan-Nya sekarang juga di dalam kemahku. Sekelilingku adalah kemah, bayang-bayang dari Yerusalem Baru. Mungkin hal ini tidak berharga menurut pandangan kalian, tetapi di mata Allah ini sangat berarti.” Inilah makna memasang kemah.
Kapan saja kita menjawab panggilan Allah, Tuhan menampakkan diri lagi kepada kita dan kita mendirikan mezbah bagi Allah, berkata kepada-Nya bahwa segala apa adanya kita dan yang kita miliki adalah bagi-Nya, kita akan segera “memasang kemah”. Dengan spontan, orang banyak akan melihat bahwa inilah suatu pernyataan dan deklarasi bahwa kita bukan milik dunia. Memasang kemah menyatakan bahwa kita milik negeri lain. Kita bukan milik negeri ini, kita mencari sesuatu yang lebih baik. Kita tidak menyukai negeri ini, bumi ini, dan dunia ini. Kita berharap masuk ke negeri yang lain. Kita menempuh perjalanan berdasarkan iman, seperti musafir di negeri asing (Ibr. 11:9). Karena itu, walaupun hari ini kita hidup dan bekerja di bumi, kedambaan hati kita bukan apa yang ada di bumi. Di bumi kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap; karena itu kita mendambakan kota yang akan datang, yaitu kota sorgawi.

Penerapan:
Setiap orang diantara kita dilahirkan dengan tidak membawa apa-apa ke dunia ini. Demikian juga pada saat kita menghadap Tuhan kita. Karena itu, marilah kita menjaga hidup kita yang singkat ini agar tidak terikat hal-hal duniawi.

Pokok Doa:
Tuhan Yesus, ampunilah kami karena banyak benda dan perkara duniawi telah membuat kami terjerat di dunia ini, sehingga tidak bisa leluasa mengikuti Engkau. Tuhan tariklah kami lebih dekat kepada-Mu, agar kami terbebas dari tipu daya dunia ini.

No comments: