Hitstat

14 September 2015

Ibrani - Minggu 17 Senin



Pembacaan Alkitab: Ibr. 7:16, 19


Kedudukan raja berkaitan dengan kebenaran dan kedamaian, sebab kedudukan raja merupakan semacam pengaturan dan penguasaan. Kalau kondisi benar (adil) dan damai ingin terpelihara, perlu ada kuasa (kekuasaan). Jika Kristus hendak menyuplaikan Allah yang telah melalui proses kepada kita sebagai roti dan anggur, maka perlu ada kondisi atau suasana yang penuh kebenaran dan kedamaian. Ketika kita datang ke depan meja perjamuan Tuhan, kita perlu mempunyai perasaan yang mendalam bahwa kita sedang berada dalam kondisi benar dan damai. Andaikata tanpa kondisi demikian, sebaliknya kita terus bersengketa satu sama lain, dengan sendirinya dalam suasana itu kebenaran dan kedamaian tidak akan ada, dan pasti pula tidak ada suplai roti dan anggur bagi kita. Agar dapat menerima suplai Allah yang telah melalui proses sebagai kenikmatan kita, hubungan antara Allah dengan kita dan antar sesama kita haruslah benar. Ketika segalanya sudah benar, barulah ada damai sejahtara, dan di dalam kedamaian ini barulah Kristus dapat menyuplaikan Allah yang telah melalui proses itu kepada kita. Kebenaran dan kedamaian berasal dari kedudukan Kristus sebagai Raja. Bila Raja berada di sini, tidak seorang pun dapat bersengketa, dan segala‑galanya akan menjadi sangat damai. Kedudukan Kristus sebagai Raja telah memelihara suatu situasi yang benar dan damai. Status raja‑Nya adalah untuk mempertahankan kelangsungan situasi dan kondisi benar dan damai tersebut.

Aspek kedua dari imamat Kristus dalam Ibrani 7 ialah imamat yang ilahi. Kerajanian (to be king) Kristus adalah perihal status; tetapi keilahian‑Nya adalah perihal unsur penyusun, yaitu unsur yang harus ada dan mendasar yang ada pada‑Nya yang telah menjadikan‑Nya Imam Besar yang demikian. Keilahian Kristus mengacu kepada sifat‑Nya. Kerajanian Kristus adalah menurut status rajani‑Nya, sedang keilahian‑Nya menurut sifat ilahi‑Nya. Kristus itu rajani, karena Ia adalah Raja; Kristus itu ilahi, karena Ia adalah Putra Allah. Sebagai Putra Allah, Kristus tidak saja memiliki kedudukan raja, juga memiliki keilahian. Kedudukan raja‑Nya memelihara semacam suasana yang penuh kebenaran dan kedamaian, sehingga Ia dapat menyuplaikan Allah yang telah melalui proses sebagai kenikmatan kita. Keilahian‑Nya telah menjadikan Dia sebagai Imam Besar, yang hidup dan penuh dengan hayat, sehingga Ia dapat melanjutkan imamat‑Nya sampai selama‑lamanya.

Keilahian adalah sifat dan hayat Kristus, maka sebagai persona ilahi yang penuh keilahian, Ia adalah persona yang hidup. Pada Kristus, Imam Besar yang rajani ini, tidak ada ketidakbenaran maupun persengketaan, yang ada hanyalah kebenaran (keadilan) dan kedamaian. Pada Kristus, Imam Besar yang rajani, tidak ada maut. Ia telah mengalahkan, menaklukkan, dan menelan maut. Mengapa pada Imam Besar yang ilahi ini tidak ada maut? Sebab Ia adalah hayat. Kristus itu ilahi. Keilahian adalah esens, sifat, unsur, dan susunan‑Nya. Status rajani‑Nya telah membereskan segala masalah dan mendatangkan suasana damai sejahtera. Tetapi Ia tidak saja rajani, Ia pun ilahi. Karena itu, di mana Ia berada, di situ tidak ada maut. Di mana ada Kristus, di sana ada kebangkitan dan maut telah tertelan. Di mana ada Kristus, di situ maut tersingkir. Imamat Kristus telah meniadakan maut. Pernahkah Anda mendengar bahwa imamat Kristus telah meniadakan maut? Adanya terang telah meniadakan kegelapan. Bila ada terang, kegelapan pasti sirna. Demikian pula, bila Kristus hadir, maut pasti lenyap.

Anak Allah tidaklah sederhana, sebab Ia mempunyai dua aspek. Kebanyakan orang Kristen hanya tahu Putra Allah sebagai Anak tunggal Allah, tetapi Alkitab juga mengatakan Ia adalah Anak sulung Allah. Anak tunggal merupakan satu aspek, dan Anak sulung merupakan aspek lain. Selaku Anak tunggal, Ia sudah ada sejak kekekalan yang lampau, dan hanya memiliki sifat ilahi. Namun, selaku Anak sulung, berdasarkan Mazmur 2 dan Kisah Para Rasul 13:33, Ia dilahirkan pada hari kebangkitan. dan memiliki sifat ilahi dan insani. Pada hari kebangkitan, Yesus yang menjadi manusia ini telah dilahirkan menjadi Anak Allah. Kelahiran ini tidak berhubungan dengan aspek Ia menjadi Anak tunggal Allah, melainkan berhubungan dengan aspek Ia menjadi Anak sulung Allah.


Sumber: Pelajaran-Hayat Ibrani, Buku 2, Berita 33

No comments: