Hitstat

29 June 2015

Ibrani - Minggu 6 Senin



Pembacaan Alkitab: Ibr. 2:11-12; 12:14


Berita ini akan membahas soal pengudusan. Tidak ada kitab lain yang membahas masalah pengudusan sebanyak Kitab Ibrani. Kekudusan benar‑benar merupakan hal yang mutlak diperlukan, karena tanpa itu kita mustahil hidup di hadapan Allah. Dalam Ibrani 12:14 dikatakan bahwa tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan. Namun "kudus" ini sukar sekali didefinisikan. Untuk memahami hal ini, kita perlu meneliti sejenak latar belakang beberapa aliran pengajaran Kristen yang khusus mengajarkan ten­tang kekudusan atau pengudusan. Pengudusan memang di­wahyukan sepenuhnya dalam kitab‑kitab Perjanjian Lama maupun Baru. Walaupun demikian, ajaran itu hampir hi­lang. Pada masa Reformasi, Allah mulai memulihkan se­mua kebenaran‑Nya. Yang pertama dipulihkan ialah kebe­naran tentang pembenaran oleh iman. Jika Anda membaca sejarah gereja dalam lima abad terakhir, Anda akan mene­mukan bahwa sesudah terpulihnya pembenaran, yang beri­kutnya adalah pengudusan. Tetapi kebenaran pengudusan ini tidak terpulih sejelas pembenaran. Bahkan kebenaran tentang pembenaran oleh iman sendiri walau telah terpulih, tetap kurang sempurna, sebab hanya terpulih secara obyek­tif bukan secara subyektif. Hal ini telah kita bahas dalam Pelajaran‑Hayat Surat Roma. Sesudah pemulihan pembe­naran oleh iman, pemulihan pengudusan menyusul, hanya saja pemulihan ini kurang tepat dan menyeluruh.

Lalu pada permulaan abad ke‑19, bangkitlah Kaum Saudara (The Brethren) di bawah pimpinan John Nelson Darby. Mereka menunjukkan bahwa kekudusan dalam Al­kitab bukanlah "kesempurnaan tanpa dosa". Dengan Matius 23:17 mereka menunjukkan emas dikuduskan oleh bait. Baitlah yang membuat emas menjadi kudus. Pengajar‑peng­ajar Kaum Saudara mengatakan, walaupun emas yang di­ perjualbelikan di pasar tidak mengandung dosa, namun tidak berarti ia kudus. Emas‑emas itu baru kudus bila su­dah dipersembahkan kepada Allah dan diletakkan di dalam Bait Suci‑Nya. Alasan mereka yang demikian sangat kuat dan tidak seorang pun dapat membantahnya. Selain itu, mereka juga mengutip perkataan Tuhan Yesus dalam Matius 23:20, membuktikan bahwa yang membuat kurban menjadi kudus adalah mezbah.

Kaum Saudara yang terkenal dengan perdebatan dok­trinalnya, juga membahas 1 Timotius 4:4‑5, yang mene­rangkan bahwa segala makanan telah menjadi kudus kare­na doa kaum saleh. Selama makanan‑makanan itu berada di pasar, itu masih umum. Mungkin makanan itu sendiri tidak salah dan tidak berdosa, namun tetap umum. Bila ia telah diletakkan di atas meja makan dan didoakan oleh kaum saleh, barulah menjadi kudus. Dengan ayat‑ayat ini Kaum Saudara menunjukkan bahwa pengudusan berarti perubahan kedudukan. Jadi, berdasarkan ayat‑ayat tadi, Kaum Saudara mengajarkan bahwa "kudus" berarti perpin­dahan kedudukan. Pada mulanya, kedudukan kita duniawi, sedikit pun tidak untuk Allah. Tetapi ketika kita telah ter­sisih dan dipersembahkan kepada Allah, kedudukan kita berubah, dan kita menjadi kudus.

Ajaran Kaum Saudara memang sangat tepat. Beberapa tahun yang lalu, ketika kita mempelajari macam‑macam aliran tentang pengudusan, kita pun setuju dengan ajaran Kaum Saudara tersebut. Kita menemukan bahwa kesem­purnaan tanpa dosa, bukanlah makna kekudusan yang se­benarnya. Akan tetapi, setelah kita meninjau kembali kitab-­kitab Perjanjian Baru, kita lalu nampak bahwa kekudusan (holiness) atau pengudusan (sanctification) bukan hanya masalah kedudukan, tetapi juga masalah sifat. Jadi, pengu­dusan tidak saja masalah mengubah kedudukan, juga ma­salah mengubah sifat. Memang benar, menurut ayat‑ayat yang mengatakan emas dikuduskan oleh bait, kurban diku­duskan oleh mezbah, dan makanan dikuduskan oleh doa kaum saleh; tidak perlu diragukan lagi bahwa ada aspek kedudukan dalam masalah pengudusan. Akan tetapi kita harus pula melihat masalah pengudusan yang tercantum dalam Roma 6. Istilah ini tercantum dua kali di Roma 6:19, 22. "Kekudusan" tidak mengandung unsur pengalaman, se­dang "pengudusan" mengandung unsur pengalaman. Maka dari Roma 6 dapat kita lihat pengudusan di situ bukan di­tujukan pada kedudukan, melainkan sifat. Dengan ini kita dapat mengatakan bahwa pengudusan bukan hanya menja­mah kedudukan kita, terlebih pula menjamah sifat atau watak kita.


Sumber: Pelajaran-Hayat Ibrani, Buku 1, Berita 11

No comments: