Pembacaan
Alkitab: Ibr. 8:6
Janji Allah adalah firman atau perkataan yang diucapkan Allah.
Ketika Allah berbicara dan dalam perkataan‑Nya Ia berjanji akan memberi,
melakukan, atau menjadi sesuatu bagi kita, itu barulah janji. Perkataan janji
Allah itu dijamin dengan kesetiaan-Nya (Ibr. 10:23; 11:11). Kesetiaan Allah
merupakan garansi atas apa yang Ia katakan sebagai janji.
Perjanjian Allah ditetapkan berdasarkan janji Allah (8:6). Dalam
Alkitab, setelah Allah membuat janji, Ia memeteraikannya dengan sumpah. Ia
bersumpah demi ke‑Allahan‑Nya, agar janji‑Nya dikukuhkan. Bila janji itu telah
dikukuhkan dengan suatu sumpah, maka segera menjadi perjanjian, perjanjian yang
dimeteraikan Allah. Ibrani 6:16 mengatakan bahwa sumpah itu suatu pengukuhan
yang mengakhiri segala perbantahan. Bila janji‑janji itu dikukuhkan dengan
sumpah Allah, janji itu tidak dapat diubah, tidak mungkin pula disesalkan atau
diganti.
Setelah Allah membuat janji‑janji dalam Perjanjian Lama,
mengukuhkan‑Nya dengan sumpah‑Nya (Kej. 22:16-18; Mzm. 110:4), Tuhan Yesus
datang dan menggenapkan semua janji Allah itu. Dengan pekerjaan Tuhan di bumi
ini, setiap hal dalam janji Allah telah menjadi fakta yang sudah genap. Sebagai
contoh, dalam Yeremia 31 Allah berjanji akan mengampuni dosa‑dosa kita. Tuhan
Yesus telah melaksanakan hal ini, yakni melalui menjadi kurban penebusan bagi
dosa‑dosa kita di atas salib, sehingga tergenaplah janji Allah itu. Sebelum
Tuhan Yesus mati di atas salib, hal ini hanya merupakan suatu janji; namun,
setelah Tuhan mati di atas salib, janji ini telah menjadi satu fakta yang
genap. Karena itu, pengampunan dosa‑dosa tidak lagi berupa janji, melainkan
berupa fakta sejarah yang telah genap. Oleh kematian dan darah yang ditumpahkan‑Nya,
perjanjian yang dijanjikan Allah telah ditetapkan menjadi perjanjian baru (Ibr.
9:18‑23; Mat. 26:28; Luk. 22:20). Melalui kematian‑Nya itu, maka semua janji
telah menjadi fakta yang telah genap.
Setelah kematian dan kebangkitan‑Nya, Tuhan naik ke surga, dan
meninggalkan perjanjian yang digenapkan dengan kematian‑Nya kepada kita. Ketika
Ia meninggalkan perjanjian itu kepada kita, perjanjian itu segera menjadi suatu
wasiat, yaitu wasiat baru yang diwariskan kepada kita (9:16‑17). Dalam wasiat
ini, fakta‑takta yang telah genap tidak lagi menjadi sekadar fakta, tetapi
semuanya telah menjadi warisan. Melalui kematian dan kebangkitan Tuhan, semua
janji telah digenapi dan menjadi fakta yang telah genap. Setelah Tuhan
meninggalkan perjanjian yang baru ini kepada kita, perjanjian ini segera menjadi
suatu wasiat, suatu surat wasiat, yang berisi semua fakta yang telah genap
sebagai warisan kita. Karena segalanya telah digenapkan‑Nya, Ia lalu naik ke
takhta di surga, di sana Ia duduk dengan penuh perhentian. Sebagai Imam Besar
kita yang di surga, Tuhan adalah Penjamin perjanjian yang baru yang lebih mulia
itu (7:21‑22).
Untuk menetapkan wasiat baru diperlukan empat langkah : pertama,
firman Allah; kedua, janji Allah; ketiga, perjanjian yang baru; dan keempat,
wasiat baru. Kita tidak lagi hanya memiliki firman Allah, janji Allah, dan
perjanjian yang baru, kita pun memiliki surat wasiat baru. Alkitab adalah surat
wasiat, yang telah dikatakan, dijanjikan, dan digenapkan, bahkan juga telah
diwariskan. Tidak hanya demikian, dalam kebangkitan‑Nya, Tuhan telah
melaksanakan apa yang telah Ia wariskan itu. Kita cukup berterima kasih atas
segala warisan‑Nya. Bila kita ingin menerima warisan‑Nya, bukalah diri kita
sepenuhnya kepada‑Nya, agar Ia dapat melaksanakan apa yang hendak dilaksanakan,
yakni menghasilkan reproduksi massal dari model standar Putra sulung, untuk
menjadi ekspresi korporat Allah. Inilah visi surgawi yang perlu kita nampak.
Sumber: Pelajaran-Hayat Ibrani, Buku 3,
Berita 41
No comments:
Post a Comment